Monday, February 20, 2012

Misteri Nomor di Atas Angpao

"Kamu kasih angpao berapa nanti kawinan si D?"
"Biasa lah.. 50."
"HEEEEEH...?? TEMEN UDAH SEDEKET BEGITU KAMU ANGPAO-IN 50 RIBU??? YANG BENER AJAAH.."

Hem. Tenang. Kalimat terakhir itu bukan menunjukkan bahwa gw gak bener. Memang itu kalimat favorit nyokap beberapa bulan terakhir ini.
Contoh penggunaan:
"(telepon) Temen kamu si J mau kawin tuh bulan ini. Apah? Gak pulang? Idiiihh, itu temen main kamu dari SMP kan, masa gak dateng kawinannya? YANG BENER AJAAH.."
"Anaknya Si M sekarang udah 3 tahun, sampe sekarang masih belom kamu tengokin juga?? Dulu tiap hari main bareng, ngeles di rumahnya 3 tahun, YANG BENER AJAAH.."

Eim. Jadi, 'YANG BENER AJAAH..' versi terakhir itu mungkin sebagian dari perilaku gw yang gak beretika dipandang dari sisi orang tua gw, nyokap khususnya. Bokap dan nyokap tumbuh dan besar di lingkungan Cina totok (asli). Walaupun keluarga nyokap lebih banyak pembauran budaya di Indonesia (e.g. udah gak ngerti bahasa Cina), pemahaman tentang kebudayaan Cina itu justru lebih banyak gw serap dari nyokap. Mungkin karena bokap lebih 'asli' dan anak ke-dua bungsu, semua ritual yang diturunkan itu diterima lebih sebagai kewajiban, bukan sesuatu yang perlu ditanyakan dan mesti dijawab. Sedangkan si nyokap masuk ke keluarga bokap dengan banyak pertanyaan, yang akhirnya mesti dia cari-cari sendiri jawabannya sejalan waktu.

Beberapa kali temen-temen gw, yang-bukan-Cina-namun-suka-angpao, bertanya,"Kenapa kalau kawinan Cina, semua angpao itu dinomorin? Ketauan dong gw masukin duit berapa.."

Sesungguhnya, angpao dinomorin itu gw juga gak paham kenapa muncul merata beberapa tahun belakangan ini, dan ternyata, kok cuma di kawinan Cina yang angpaonya ada nomor seri begini. Malu sebenernya mengetahui fenomena ini. Gw pun sempet jadi panitia penerima angpao, dan dijelasin ini angpao dinomorin sesuai sama nomor dia di buku tamu. Akhirnya, setengah undangan paham untuk memberikan angpaonya ke gw untuk dinomorin terlebih dahulu, sebagian langsung masukin karena ketakutan gw nomorin (*yang akhirnya gw tempel aje tu nomor di buku tamu). Terakhir, ada sekumpulan anak muda menghampiri, mereka bilang, "Kita bawanya hadiah foto nih, nanti mau langsung dikasihin ke pengantin aja.". Tinggallah gw yang bengong dengan tempelan nomor-nomor tak bertuan itu.

Dulu sih biasanya si angpao itu udah ditulisin sama orang yang ngirim, kalo bokap biasanya pake tulisan Cina begitu tulisnya. Buat keren-kerenan aja kalih. Terbukti kita, anak-anaknya, selalu menganggap bokap keren dan kita jadi yakin kalo kita memang turunan Cina karena bokap bisa nulis Cina. Padahal seumur-umur, tulisan Cina yang bokap tulis itu cuma di atas angpao, dan di pipi gw. Iye, nulis "harimau" pake blao kala gondongan muncul.

Entah apa yang bikin tradisi menulis ucapan itu berkurang, sehingga sekarang orang merasa lebih mudah memberikan identitas angka di atas angpao dari tamu yang datang. Kita semua, -ya,termasuk gw-, beranggapan, semua angpao masuk itu akan diaudit. Siapa kasih berapa, oh si ini kok cuma masukin kertas kosong, lah ini kenapa ada angpao tebel banget punya siapa?

Dari semua jawaban yang gw peroleh, sebenernya ada jawaban-tidak-langsung seorang teman yang paling masuk di akal.
Rasa percaya.
Pernah sekali, seorang teman minta gw buat jadi penerima tamu. Alasannya sepele, karena dia cuma percaya sama gw. Dia yakin seyakin-yakinnya kalo gw gak mungkin nilep angpao. *FYI, kejadiannya waktu gw kaya dulu, saat ingus gw mencair jadi duit, mengering pun jadi emas.

Masuk akal sekali kalau melihat ciri-ciri stereotipe suku kami dari ujung barat sampai timur Indonesia, ah, mungkin juga dari ujung utara sampai selatan dunia. Kami hadir dengan identitas yang tidak mudah percaya pihak lain, namun terlihat memudar sejalan berkembangnya generasi-generasi, percampuran dengan lingkungan budaya Indonesia juga sedikit banyak mengubah pandangan kami terhadap dunia. Yah, meminta gw secara fanatik untuk menjaga angpao, merupakan sebuah langkah besar seorang suku Tionghoa modern dalam mengurangi stereotipe 'tidak bisa percaya orang lain' ke arah 'tidak mudah percaya orang lain'. Maju selangkah.

Lebih seru sebenernya setelah menggali misteri angpao bernomor dari sisi generasi tua. Lebih natural, nrimo dalam menerima budaya aslinya, lebih banyak unsur filosofis dibanding praktis. Tau apa jawaban nyokap?
"Biar kita tau, siapa yang kasih angpao sekian, lalu nanti kalau dia punya acara, kita tau harus masukin angpao berapa."

Sebagai manusia modern kritis, umumnya kita langsung mikir, gimana nasip yang ngasihnya kecil? Gimana yang emang lagi apes gak punya duit? Terus itu yang kasih kertas kosong apa dibales kertas kosong juga?
Tapi hari ini, pertanyaan terbesar gw berhasil terjawab sendiri,
"Kenapa kalau kawinan kita harus kasih angpao? Kenapa harus repotin orang begitu, mau dateng undangan, mau gak mau, mesti memenuhi standar angka populer dalam angpao?"

Pada saat itu sih, gw cuma bengong aja, agak gak rasional kadang-kadang pemikiran nyokap, kebanyakan pake perasaan, kebanyakan mikirin pandangan orang, ato yang gw sebut sebagai: mengikuti norma sosial.
Sampai gw terlempar di siang hari setahun lalu pemakaman popo gw.

Setelah acara makan selesai, semua anak menantu duduk di meja makan (*gak semua, bokap gw malah molor di belakang. Eim.). Kotak pepao (amplop putih, sumbangan untuk orang meninggal) dibuka, beberapa anggota mengeluarkan isinya, sisanya menuliskan di buku, nama-nama yang tertera dalam pepao, juga jumlah materi di dalam pepao.

Ada benernya sih soal perilaku audit dalam ritual angpao-pepao ini, tapi semuanya demi keamanan dan kenyamanan internal aja. Semua anggota keluarga tahu secara detil tentang isi nominalnya, kalau gak percaya ya silakan dicek ini loh buktinya. Jangan sampai cuma urusan uang dalam amplop yang gak seberapa, hubungan keluarga jadi rusak. Lalu apa hubungannya dengan pernyataan nyokap tadi?

Ada yang unik dari ritual tadi. Ketika ada orang yang masukin nilai nominal di atas standar disebut, semua kesibukan di meja itu berhenti. Di sinilah saat semua orang mendengarkan (khususnya orang tua kita, karena yang dateng kan rata-rata temen/tetangga mereka), "Ini amplop atas nama X, ngasihnya segini.. Siapa ini X?", dibahas rumahnya di mana, saudaranya siapa, kerjanya apa, sampai tuntas. Intinya, orang dengan identitas nominal amplop besar akan ditandai lingkaran/bintang, 'jasanya' akan direkam oleh seluruh anggota keluarga, dan semoga kita mampu membalaskannya kelak, dengan jumlah yang setara.

O? Jadi Cina itu emang pikirannya cuma seputar duit dan duit doang?
Sayangnya bukan.
Uang yang sudah masuk dalam angpao, dalam pepao, adalah suatu wujud terpraktis yang bisa kami panjatkan bersama doa, karena kami terlalu sulit untuk menjelaskan semua doa kami dalam bentuk kata-kata dan ekspresi emosi. Hanya segelintir orang yang beruntung yang mampu melihat dan merasakan ekspresi emosi suku Tionghoa ini.

Lalu bagaimana dengan mereka yang cuma mampu untuk memberi angpao dengan isi standar? Atau malah di bawah standar?
Lagi-lagi, uang dalam amplop adalah wujud doa. Pada akhirnya, panjang pendeknya sebuah doa itu tidak menunjukkan kualitas doa itu sendiri, kan. Keberadaan angpao hanya menunjukkan usaha termudah kita dalam menjalin kerekatan hubungan. Ternyata, kita sendiri punya pandangan pribadi dalam memberikan isi nominal angpao, tingkatannya tergantung kedekatan. Sekian untuk kenalan, sekian untuk keluarga, sekian untuk sahabat. Gak cuma isi angpao, pilihan-pilihan untuk budget kado juga salah satunya ditentukan karena level keintiman kita dengan si penerima. Cocok?

Kalau pada akhirnya kami terlihat lebih fokus terhadap orang-orang yang bernominal besar, semuanya kembali pada karakter stereotipe kami yang lain: tidak mau berhutang budi. 'YANG-BENER-AJAAH..'-nya nyokap selalu mengajak gw untuk kembali ke masa lalu, ingat budi baik mereka yang pernah tumbuh bersama lu, gak peduli lu temennya waktu umur berapa. Gak cuma sesederhana hubungan lu dengan mereka, itu berarti juga ada keluarganya mereka. Ayo diingat lagi, 'Ada peranan apa dari orang tua Si M sama kamu?' 'Gimana kalo dulu mamanya Si J gak bilangin mama kalo kamu sakit perut di UKS dulu?' 'Mama papanya si D, heii.. Kamu itu udah kayak anak mereka sendiri.. Begitu cara kamu memperlakukan keluarga kamu, setelah terpisah berapa tahun lalu hilang saja?'.
Agaknya kata-kata itu yang ingin nyokap wakili dalam 3 kata pendek bertegangan tinggi itu.

Uang dalam amplop sekejap menjelma nilai, dari material menjadi immaterial. Bokap sekali bilang sama gw, "Uang 100 ribu yang Beh kasih kamu untuk biaya hidup minggu ini, nilainya itu gak akan sama dengan 100 ribu yang kamu kasih Beh untuk beli pizza besok. Tapi uang 10 ribu untuk isi pulsa Beh hari ini, jauh jauh lebih mahal dibandingkan 100 ribu yang Beh kasih untuk kamu di saat tabungan kamu isinya udah milyar-milyar."




Sementara gw menyerap semua kejadian sederhana yang punya ketebalan makna di baliknya dalam keluarga Cina ini,
bokap sudah menyelinap kabur bersama uang 10 ribunya,
bayar tumpukan kasbon pulsa dua bulan lalu.











BEEEHH, YANG BENER AJAAH..



200212
adnanauS

1 comment: